[Review Buku] Nadira, Leila S. Chudori

Oka
3 min readJul 20, 2022
A hand holding book entitled Nadira written by Leila S. Chudori
Review Nadira, Leila S. Chudori

Kemala Yunus ditemukan tewas dan tubuhnya telah membiru. Anak-anaknya — Nina, Arya dan Nadira mengetahui ibunya telah mengakhiri hidup dan meninggalkan berbagai pertanyaan kenapa ia melakukan hal tersebut. Tokoh utama kita, Nadira, terus membawa pertanyaan itu dalam hari-harinya dan membuatnya seperti sesosok mayat hidup. Nadira menyibukkan diri dengan pekerjaan, Arya lari ke hutan, dan Nina kembali ke AS untuk mengejar pendidikan. Sementara ayah mereka sendirian, dan berlarut-larut bersama kenangan sang istri tercinta.

Kenapa Nadira?

Awalnya, saya menduga ceritanya akan berfokus pada pencarian jawaban atas pertanyaan kenapa Kemala Yunus memutuskan bunuh diri, mungkin dengan fokus utama pada si bungsu Nadira — seperti judulnya. Apalagi disebutkan di blurb betapa kuatnya karakter Kemala Yunus: ia digambarkan sebagai seorang perempuan yang sangat ekspresif, berpikiran bebas, dan selalu bertarung mencari diri dan kematiannya begitu mengejutkan. Jadi, menurut saya ini saja sudah menjadi alasan kuat kenapa penulis seharusnya mengulik lebih dalam poin ini.

Selain itu, saya juga mengira jika kisah Bram Suwandi sepeninggal Kemala Yunus akan lebih disorot. Sepanjang membaca saya lebih membayangkan betapa nelangsanya hidup Bram, seorang diri di hari tuanya. Saya memikirkan bagaimana ia mengusir kesepian, dan menghadapi kesedihannya. Namun memang buku ini tentang seorang Nadira, yang sejak kecil sudah “berbeda”, maka sepertinya itu menjadi alasan kenapa ia “spesial” di mata penulis dan membuatnya sebagai focal point dari cerita. Buku ini pada akhirnya memang berfokus pada Nadira — dan kisah cintanya.

Alur cerita buku setebal 303 halaman ini maju mundur, dan sesekali membuat bingung. Tetapi, saya masih bisa memaklumi dan memahami jalan cerita. Apalagi ini, menurut saya, menjadi salah satu aspek yang membuat kisah Nadira menarik. Dari segi diksi, penulis tidak menggunakan kata-kata “wah” yang jarang kita gunakan dalam bahasa sehari-hari. Jadi membaca ceritanya, saya sebenarnya nyaman-nyaman saja. Namun, ada hal lain yang bikin sedikit mengganggu, yakni saat penulis menceritakan tentang buku-buku, dan musik kesukaan Nadira. Saya mendapat kesan jika penulis sedang “pamer” keluasaan referensi bacaan dan musik favoritnya. Lalu, ada pula beberapa bagian yang mengulang-ngulang. Ini membuat saya agak sedikit bosan saat membaca bagian-bagian tersebut.

Tokoh-tokoh yang Terlalu Sempurna

Tokoh-tokoh di buku ini cukup banyak. Setiap bab sepertinya kita terus-menerus diperkenalkan dengan tokoh baru. Dan yang paling mengganggu — dan harus saya bilang, jadi turn-off buku ini, adalah penggambaran kebanyakan tokohnya yang terlalu sempurna: mata bulat, cerdas, tinggi semampai, paras rupawan, hidung lancip, berasal dari kelas menengah atas, lulusan universitas mancanegara, memiliki sifat “berbeda” dan selalu bisa menjadi pusat perhatian. Rasa-rasanya tokoh-tokoh ini terlalu fiktif, dan tidak banyak dari kita yang bisa relate dengan mereka.

Di sisi lain, ada pula tokoh-tokoh yang perannya sebenarnya tidak cukup signifikan, seperti Kris dan Satimin. Mungkin, menurut saya, “slot” cerita keduanya bisa digantikan untuk mengulas dan memperdalam bagian yang lebih membutuhkan penjelasan lebih panjang: alasan Kemala Yunus bunuh diri dan buku hariannya, alasan ayah Bram memberikan tasbih kepada Kemala, persepktif Gilang Sukma tentang kenapa ia suka bergonta-ganti perempuan, atau mungkin, kenapa Marc tiba-tiba hilang dari “cerita”.

Bagian yang Saya Suka

Di balik berbagai hal yang ternyata masih kurang dari ekspektasi saya sebagai pembaca, saya suka bagaimana penulis mengambil latar pemerintahan orde baru — seperti dua buku Leila Chudori lainnya, Pulang dan Laut Bercerita. Ini menurut saya menarik karena bisa memberikan insight, baik itu persoalan politik, ekonomi hingga sosial pada jaman tersebut. Selalu ada saja hal yang baru saya tahu, dan saya tahu dari membaca buku-buku (fiksi) penulis.

Saya juga suka saat penulis menyentil hal-hal yang menjadi dogma di masyarakat kita: pernikahan adalah perkawinan dua keluarga dan budaya, religiusitas yang bentuknya bisa berbeda dari satu individu dan lainnya, perselingkuhan dan perceraian yang pada akhirnya lebih banyak merugikan perempuan.

Sebagai kesimpulan, buku ini pada dasarnya cukup menghibur apalagi jika kamu suka buku-buku romansa. Namun sayang memang, bukunya ternyata tak seberkarakter Pulang atau Laut Bercerita.

3,5/5★

--

--

Oka

Got rejected several times applying jobs on writing, here I am instead writing on my own :)