“Adults, waiting for tomorrow, move in a present behind which is yesterday or the day before yesterday or at most last week: they don’t think about the rest. Children don’t know the meaning of yesterday, or the day before yesterday, or even of tomorrow, everything is this: now…” (Hal. 29)
Sebuah telepon dari Rino, anak lelaki Lila Cerullo, membawa Elena Greco kilas balik ke kehidupan masa kecilnya di Naples, Italia. Elena menceritakan persahabatannya dengan Lila yang rumit. Keduanya hidup di lingkungan yang sama, bersekolah di sekolah yang sama, memiliki teman sepermainan yang sama, dan memiliki kondisi rumah yang sama-sama terbelit kemiskinan. Dua sahabat ini juga sama-sama cerdas. Lila punya bakat alami pintar dalam segala hal, sementara Elena adalah sosok pekerja keras yang menempatkannya pada posisi yang setara dengan Lila.
Meski tak terpisahkan, Elena dan Lila juga bersaing ketat satu sama lain. Bahkan keduanya seringkali berusaha menjatuhkan satu sama lain dengan penilaiannya yang menyakitkan atau perlakuannya yang menjengkelkan. Dari dinamika persahabatan keduanya, pembaca juga diajak untuk menilik ke kehidupan sosial dan ekonomi di Naples pada 1950–1960an. Kita diajak ikut berempati pada kondisi kemiskinan di sana, juga mengernyitkan dahi pada kekerasan yang terjadi.
Dari gaya penulisan, sejujurnya saya lebih suka gaya Ferrante pada The Days of Abandonment. Terasa lebih powerful dan punya kekhasan tersendiri. Sementara di My Briliant Friend, gaya khas tersebut masih ada namun tak terlalu kentara dan keseluruhan narasi cenderung di tensi yang datar. Mungkin karena tipe cerita yang berbeda dan lebih deskriptif lantaran si narator sedang mencoba mengingat kenangan. Tetapi yang mirip dari kedua buku ini, keduanya sama-sama minim dialog. Meski demikian, buku pertama kuartet Neapolitan tetap bisa membawa saya terhanyut di pikiran Elena serta terbawa suasana dan atmosfir di kehidupan masa kecilnya. Apalagi di akhir cerita, Cliffhanger-nya benar-benar bikin ternganga. Buku ini sukses bikin saya ingin segera melanjutkan ke sekuelnya.
“Selalu Ada Tekanan untuk Menjadi Kaya”
My Briliant Friend yang ceritanya tentang kehidupan di Naples, Italia pada 1950an ternyata punya banyak kesamaan dengan kehidupan masa kecil saya di tahun 1990–2000an. Sebuah kebetulan yang juga bikin saya bernostalgia. Keadaan ekonomi di kampung saya pada waktu itu juga sulit. Meski tak ada kekerasan fisik (i.e saling bunuh), gaya berbicara orang-orangnya sama-sama cenderung meluap-luap dan kasar.
Kondisi ekonomi yang sulit kala itu juga menjadikan kami termasuk saya dan teman-teman yang masih belia money-oriented. Kami digembleng (secara langsung maupun tidak langsung), jika mencari suami sebisa mungkin orang punya, berteman juga harus dengan yang terpandang, sekolah juga ditujukan untuk mencari uang.
“There was always the pressure to become wealthy, there was no question about it, but the goal was no longer the same as in childhood: no treasure chests, no sparkle of coins and precious stones.” (Hal. 179)
Lulus sekolah dasar pun kebanyakan teman saya langsung berorientasi menikah. Kalaupun tidak mendapatkan pangeran berkuda, setidaknya mereka tidak lagi menyusahkan orangtua. Begitu yang ada di pikiran orang-orang di sekitar saya.
Namun, lulus dari SD alih-alih minta dinikahkan seperti teman-teman, saya merajuk kepada orangtua jika saya ingin melanjutkan sekolah. Terpaksa dan juga mungkin melihat kemampuan akademik saya, orangtua saya luluh dan menuruti agar saya bisa mengenyam bangku SMP. Hal ini ternyata tak lantas begitu saja menghilangkan angan-angan orangtua agar saya segera bisa menghasilkan uang. Mereka meminta jika saya lulus SMP saya bekerja di Jakarta, menjadi pengasuh atau apa saja yang paling tidak lebih wah ketimbang jadi ART. Begitu menurut orangtua saya.
Dan, ada beberapa baris perkataan Elena yang sangat mengena di saya.
“My mother wanted to ask the stationer to take me as an assistant: in her view, clever as I was, I was suited to selling pens, pencils, notebooks, and schoolbooks. (Hal. 120)
Hal yang saya alami ini juga memiliki kemiripan dengan yang terjadi pada Elena. Dia bisa lanjut bersekolah, sementara teman termasuk sahabatnya Lila justru dituntut orangtua untuk membantu dapur tetap ngebul. Di sisi lain, melihat teman-temannya bermain dan menemukan pasangan, saya seperti Elena merasa iri dan ingin memiliki yang mereka punya. Lagi-lagi seperti Elena, saya juga sering membanding-bandingkan diri dengan teman sebaya. Wajah dan fisik secara keseluruhan yang sedemikian rupa seperti menjadi standar kelayakan untuk memiliki pacar. Meski pada akhirnya saya merasa, “standar” saya tidak sama dengan teman-teman saya. Cara berpikir kami berbeda dan saya merasa belum menemukan yang bisa berpikir di level yang sama.
Dengan Elena saya seperti memiliki kedekatan emosional. Saya bisa memahami apa yang dia lakukan. Saya berempati akan hal-hal yang membuatnya sedih. Saya berharap ia mendapatkan support yang layak ia dapatkan, dari ibu, ayah dan Lila khususnya.
4,5/5 ☆