Saya sering berpikir, apakah hidup ini akan saya habiskan untuk bekerja? Apakah pekerjaan akan menjadi bagian tak terlepaskan dari diri saya? Saya dikenal sebagai Oka Perusahaan A, bagian B, dan sebagainya?
Belum lagi waktu yang tersita. Senin hingga Jumat. Tak jarang pula tugas datang di jam-jam orang beristirahat, bahkan hingga hari libur Sabtu dan Minggu.
Jelas melelahkan, tak hanya fisik namun juga mental. Ditambah dengan pekerjaan yang tidak sesuai passion saya. Betul, terkadang memang menyiksa.
Susahnya Mengkritisi Pekerjaan
Lalu, saat mengkritisi pekerjaan kita dibenturkan dengan kenyataan adanya etika atau aturan dari perusahaan yang mengatur hal ini. Jadi mau tidak mau kita ‘dipaksa’ diam dan mengikuti aturan perusahaan, demi keselamatan bersama. Haha.
“This means that when we criticise work, we often come up against fear and confusion. This fear is not merely the product of a work ethic promulgated by elites. Given that, under capitalism, work becomes the only avenue for self-development, respect and fulfilment, this is a genuine fear of a loss of self. But capitalism’s defining feature — work, wage labour — is a curtailment of the possibilities of our lives. We can’t get our lives back without radically changing the very foundations of society.” (Lost In Work, Amelia Horgan)
Di luar itu, jika membahas hal semacam ini seringkali akan mendatangkan komentar-komentar bahwa kita kurang bersyukur, terlalu naif, terlalu idealis dan lain sebagainya. Hmmm… padahal menurut saya seharusnya sah-sah saja. Karena pada dasarnya pembahasan seperti ini menginginkan perubahan yang lebih baik, tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi semua. Catet ya, S E M U A.
Sayangnya, jika menyangkut pekerjaan ada banyak hal yang kita takutkan. Sehingga pembahasan seperti ini menjadi jarang. Tentu karena pekerjaan adalah sumber penghidupan kita dan keluarga. Jika hilang, tamatlah sudah.
Ini satu hal yang saya sukai dari buku Lost In Work: Escaping Capitalism ini. Saya seperti mendapatkan pencerahan. Perlunya mendobrak aturan-aturan perusahaan (baca: kapitalis), bisa jadi akan membuat hidup kita lebih baik. Atau, jika perubahan itu tidak terjadi sekarang mungkin akan terjadi di masa mendatang. Untuk anak cucu kita, bund.
Pekerjaan sebagai Ekspresi Diri Itu Kelakar
“Even in work that is more secure, more permanent, and better paid, all kinds of problems for workers emerge. The reason for this is that, by and large, we are not able to choose how we work. At work, we are subject to control by others.” (Lost In Work, Amelia Horgan)
Pada sebuah wawancara kerja dahulu kala, saya pernah mengutarakan kepada bagian personalia jika saya menginginkan pekerjaan yang bisa menjadi ekspresi diri saya. Gayung bersambut. Bagian personalia itu menjabarkan deskripsi pekerjaan yang saya lamar dan menyebut saya bisa menemukan hal yang saya cari tersebut.
Waktu berlalu, ide-ide kreatif yang terus dituntut untuk selalu ada kemudian seringnya dihadapkan dengan aturan perusahaan dan permintaan dari klien. Ini dan itu. Lalu dengan dalih menyesuaikan, ide-ide itu hanya menjadi kumpulan karya hasil jiplakan keinginan pasar. Bagian diri saya dalam proses kreativitas ide itu.. tentu menghilang.
Tempat Kerja Itu Keluarga, Yakin?
Di perusahan yang dulu-dulu saya selalu diberitahu, kalau saya sebagai karwayan adalah keluarga mereka. Tetapi membaca buku ini saya jadi sadar, bahwa omongan semacam ini juga hanya bisa-bisa mereka. Bagaimana tidak? Keluarga kok selalu dipantau setiap waktu. Pekerjaan harus selalu sesuai target dan tenggat waktu tertentu. Bahkan, achievement kita hanya dihitung berdasarkan angka (Hello, KPI?).
“Because of the coercive force of the myth of workplace-as-family, workers are unable to demand their rights as workers.” (Lost In Work, Amelia Horgan)
Kenapa Nggak Resign Saja?
Saat pekerjaan menjadi identitas kita, pekerjaan kita adalah kita, maka berhenti bekerja kadang bukan pilihan. Terlebih bagi kita yang menjadikan pekerjaan sebagai sumber penghidupan.
Dalam buku ini, satu hal yang menjadi solusi jika kita menginginkan perubahan adalah dengan memiliki kesadaran akan betapa kapitalis telah mengambil untung lebih dari yang mereka berhak. Selanjutnya, perserikatan para pekerja bisa menjadi wadah untuk bersuara. Menyuarakan perubahan akan berbagai aturan yang merugikan pekerja, dan menuntut hak-hak yang seharusnya menjadi milik kita.
Takut ya? Iya, saya juga. Ini salah satu bentuk cengkraman kapitalisme yang sudah mendarah daging. Selain itu, di masyarakat yang kita ketahui saat ini, pekerjaan menjadi identitas kita. Kita adalah pekerjaan kita. Maka jika kita tidak memiliki pekerjaan, kita bukan siapa-siapa.
“Work is tied up with our identities and our everyday lives in profound ways. We are encouraged to love our jobs and live the ‘values’ of the companies we work for. Communities are shaped by and around certain industries (and the decline of those industries).”
Mungkin tulisan ini jadi lebih seperti ocehan ketimbang review. Tak apa, saya tetap bahagia kalau masih ada yang baca.
Selamat membaca, semoga tercerahkan!
4 🌟