“Pinter ya, Anaknya Makannya Banyak”

Oka
2 min readJul 1, 2022

Saya sering mendengar, tetangga, si mbaknya tetangga, teman-teman, bahkan orangtua saya sendiri bilang begini:

“Anaknya banyak ya makannya, pinter.”

“Wah pinter makannya banyak.”

“Yang banyak ya makannya.”

Yang menjadi kegelisahan saya adalah, ada semacam pemikiran bahwa anak yang pinter makan itu yang makannya banyak. Padahal, bukankah kata “pintar” itu merujuk pada sebuah keahlian? Jika si anak makan banyak karena dia sedang sangat lapar, maka berarti dia memang memiliki keahlian mendengarkan sinyal tubuhnya. Sebaliknya, jika si anak makan banyak tapi maunya itu-itu saja, atau kadang sulit berhenti makan, apakah masih bisa dibilang “pintar makan”? Selain itu, banyaknya preferensi makanan, tidak pilih-pilih, “melihat” makanan dalam level yang sama, menurut saya juga ikut menambah nilai pada keahlian si anak dalam hal makan.

Namun, rasa-rasanya yang dianut lingkungan juga budaya kita yang sudah turun temurun ini adalah jika banyak makan ya sama dengan anak pintar makan. Akibatnya, banyak orang tua yang lebih fokus pada target anak harus makan banyak, bukan pada keahlian. Padahal menurut yang saya pelajari, makan pada anak (usia 6 bulan hingga batita khususnya) itu bukan proses yang sederhana. Jadi, nggak bisa ceritanya anak ujug-ujug jadi makannya banyak.

Seperti halnya keahlian-keahlian lain, untuk bisa pintar makan dibutuhkan proses belajar yang nggak sebentar. Mulai dari mengenal tekstur, belajar melepeh, belajar mengunyah, mengenali rasa lapar/kenyang, dan sebagainya, termasuk suasana saat makan, sangat berpengaruh pada pintar tidaknya si anak makan, dan ini perlu dikenalkan serta diajarkan. Sayangnya, target “harus banyak makan”, “berat badan harus naik sekian,” ditambah Instastory seleb yang ngasih lihat anaknya lahap makan dan komentar pedas dari mertua atau tetangga, bikin orang tua penuh tekanan dalam urusan mengajari anak makan.

Kalau kata dokter Adilla Hikma di Instastory akun @adillahikma pernah bilang, “Dan saat ketakutan kita terhadap kondisi anak, rasa menghantui itu.. sebenarnya lebih menjauhkan kita dari mengenal anak.” Karena, menurut beliau “Saat kita mengenal dia (anak kita), kita tahu bahasa tubuhnya, dan kenyamanannya. Dan pada saat itulah responsive feeding akan efektif.”

Selain itu, dokter Adilla juga pernah mengatakan yang intinya begini, “Perut perut siapa, yang merasa kenyang atau lapar siapa?” dan ini betul-betul bikin cara pandang saya terhadap proses belajar makan anak jadi berubah. Selain itu, beliau juga sempat bilang jika, “Pondasi makan itu: keahlian, keinginan untuk makan, dan kepercayaan diri orang tua dan kompetensi orang tua.” Nah, biar anaknya pintar makan, mungkin ada baiknya mama-papa lebih fokus pada memperkuat pondasi ini, bukan pada Instastory mama-mama Selebgram. Hehe

Disclaimer:

Tulisan ini memuat opini saya pribadi dan dibuat berdasarkan pengalaman dan hal-hal yang saya pelajari saat mengajarkan anak saya makan. Saya bukan dokter, ahli atau semacamnya. Jadi, jika membutuhkan saran medis monggo ke pakarnya.

--

--

Oka

Got rejected several times applying jobs on writing, here I am instead writing on my own :)