Malu Jadi Anak Petani

Oka
3 min readAug 11, 2022
Photo by Visual Karsa on Unsplash

Mereka bilang “jangan malu jadi anak petani”, tetapi jika sistem memaksa demikian, anak petani bisa apa?

Lahir dari latar belakang keluarga petani, dari kecil saya didoktrin, secara langsung maupun tidak langsung, untuk malu jika menjadi petani. Doktrin ini saya dapatkan baik dari kedua orangtua sendiri, yang merupakan petani, maupun dari pihak-pihak luar seperti tetangga, lingkungan, sekolah, hingga televisi atau media massa. Seperti ada semacam konvensi yang mengatakan jika petani adalah sebuah pekerjaan yang nista: upah kecil tak menentu, dan mengandalkan fisik semata.

Saya merasa selalu didorong untuk keluar dari lingkaran profesi ini, dan alih-alih, dituntut untuk memiliki profesi “mulia”. Yang dimaksud “profesi mulia” versi mereka mengacu pada orang-orang berdasi, duduk di belakang meja, menjadi pejabat negara atau anggota DPR, berseragam polisi, tentara dan kawan-kawannya. Dengan berondongan yang sedemikian rupa, tentu mindset saya ikut terbentuk — saya tidak ingin menjadi seperti orang tua saya.

Ada sebuah kejadian yang mungkin saya rasa paling signifikan rasa malunya dibanding kejadian lain — yang berkaitan dengan perihal saya anak petani. Ini di masa saya duduk di bangku kuliah. Seorang dosen dalam sebuah mata kuliah menanyakan profesi orangtua mahasiswanya. Saya menunduk, lantas terpaksa menjawab dengan nada lirih, berharap teman-teman satu kelas tak mendengar, atau segera melupakan ucapan saya.

Pada masa-masa kuliah, saya pernah pula diajak pacar saya kala itu untuk berkunjung ke rumahnya. Di sana saya ditanyai oleh kakak perempuannya apa profesi orangtua saya. Dengan ngalor-ngidul dan keengganan yang kentara saya menjawab jika mereka punya sawah. “Oh petani,” si kakak perempuan pacar saya mencoba memperjelas setelah mendengar jawaban saya. Tentu, saya semakin tersipu.

Dan pengalaman-pengalaman malu ini terus berlanjut hingga akhirnya saya “terlepas” dari orangtua. Namun, setelah menikah dan memiliki suami, pertanyaan kemudian berganti “apa pekerjaan suamimu?”

Nampaknya, urusan pekerjaan ini memang satu hal yang cukup krusial untuk ditanyakan. Ada kepercayaan tak tertulis yang membuat kita berpikir jika A memiliki pekerjaan C, maka si A memiliki derajat di atas si B yang berprofesi D, dan seterusnya. Kehidupan kita, identitas kita, bahkan dihormati atau tidaknya kita akan ditentukan oleh apa pekerjaan kita. Kita adalah pekerjaan kita.

Mindset seperti ini memang sudah terbentuk sejak lama. Dan sepertinya kapitalismelah biang keladinya. Dengan prinsip utamanya untuk mendorong agar manusia selalu menginginkan lebih, maka pekerjaan sebagai bagian penting dari kapitalisme terus menuntut kita untuk meraih hal-hal yang belum kita miliki, mendorong agar kita menjadi “lebih tinggi”.

Dan, karena kapitalisme kita juga dibikin terikat sedemikian rupa dengan pekerjaan kita. Kita dibuat percaya jika satu-satunya cara mengaktualisasikan diri adalah melalui pekerjaan, dan menjadikan pekerjaan tersebut sebagai bagian dari diri kita.

“Work is tied up with our identities and our everyday lives in profound ways. We are encouraged to love the jobs and live the ‘values’ of the companies we work for. Communities are shaped by and around certain industries (and the decline of those industries). …. Given that, under capitalism, work becomes the only avenue for self-development, respect and fulfilment, this is a genuine fear of a loss of self.” (Lost In Work, Amelia Horgan)

Lalu persoalannya jika dikaitkan dengan profesi petani adalah, orang-orang dengan profesi ini seringkali dianggap kelas bawah, papa, dan marginal. Tentu saja, siapa yang ingin dilabeli demikian? Ditambah lagi dengan tekanan ekonomi, sosial dan budaya: trend terkini, omongan tetangga, komentar mertua, bombardir televisi atau iklan di sana-sini yang merongrong kita untuk punya ini dan itu. Akibatnya, profesi petani dengan penghasilan sekian rupiah saja selalu dianggap kekurangan. Sekali lagi, kapitalisme membuat kita untuk selalu berhasrat akan apa-apa yang tidak kita punya.

Namun, semakin ke sini saya semakin menyadari. Profesi petani, IT, guru, dokter, pilot, anggota dewan hingga presiden sekalipun, semua sama. Di mata saya mereka tak ada yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Dari yang hanya punya upah harian, hingga mereka yang berpenghasilan miliaran setiap bulan, tak akan yang lebih baik atau tinggi derajatnya. Karena kita dan mereka akan “dituntut” untuk selalu tidak puas. Maka yang lebih penting bagi saya adalah, cara pandang kita terhadap dunia.

--

--

Oka

Got rejected several times applying jobs on writing, here I am instead writing on my own :)